Thursday, November 18, 2010

Jaket merah yang 'mahal' harganya

 “Woy, serius kau! Masak kau gak tau temanmu kemana??” teriak seorang abang HMT yang disambut juga dengan teriakan-teriakan serupa oleh abang dan kakak dari barisan belakang. Pikiranku buntu tidak tahu harus menjawab apalagi, tidak cukup waktu untuk mencari tahu dan tidak cukup nyali untuk mengarang jawaban palsu. Acara ini penting, sangat penting. Kehadiran sungguh diperhitungkan, aku tidak bisa enak-enak tidur di rumah dan mengatakan “izin” atau “sedang acara keluarga” atau “sakit”. Semua harus jelas. Kuliah saja tidak sampai seperti itu. Ya, acara yang sedang kuikuti ini benar-benar serius.

Dari kejauhan mereka sudah dapat terlihat. Warna jaket yang mereka kenakan sungguh mencolok mata: merah menyala. Keberadaan dalam gerombolan membuat mereka semakin jelas saja terlihat. Kuliah belum dimulai namun kami interaksi dengan HMT sudah dimulai. Belum mengenal satu sama lain membuat kami kesulitan untuk menjadi kompak dan memecahkan masalah bersama. Ditambah rasa egois untuk menyenangkan diri sendiri yang masih terbilang cukup besar.
Tekanan tinggi. Sulit, tapi harus dibiasakan dan dilatih. Kami dikondisikan untuk memberikan argument pada kondisi tertekan. Untuk melatih berpikir tenang dalam kondisi tertekan, menurut HMT itu esensinya. Posisi tubuh berdiri tegap dengan tangan berada di sisi badan, mengepal ataupun bergerak seperti guru sedang menjelaskan tidak diperkenankan. Itu aturannya bila kami berbicara saat interaksi. Suara harus lantang dan tegas. Melatih mental dan melatih kemampuan berkomunikasi

Kekompakan yang buruk solusinya hanya satu: meningkatkan kebersamaan. Tugas yang diberikan bertambah begitu pula masalah. Kumpul angkatan semakin rutin dilakukan untuk menanggulanginya. Bahkan sempat hampir setiap hari dan hebatnya hampir mengalahkan waktu kuliah. “Kuliah jam 11 di DPR, 4 SKS”, status yang ditulis di Twitter oleh salah satu anak Tambang 2009 membuat saya tersenyum di hari itu.

Saat itu kami sedang membahas saus kacang, kerupuk, buah-buahan, dan lain-lain. Rujakan Tambang, acara yang harus kami persiapkan sebagai konsekuensi kesalahan kami. Beberapa alat kami harus mencoba meminjam kepada teman-teman kami dari jurusan lain. “Hah, apaan yang dirujak? Sori, maksudnya siapa yang dirujak? LOL”, canda seorang teman dari jurusan lain. Candanya sama sekali tidak menghibur. Bersyukur, buah-buahan yang dirujak cukup memuaskan perut anggota HMT. Seusai acara, rujak yang masih tersisa dan pudding yang berlebih segera kami lahap tanpa prosedur yang jelas.

Kami melalui banyak waktu bersama, mengetik tugas manual, interaksi hingga tidur pun bersama-sama. Basecamp kami yang terletak did ago asri dapat dibilang cukup baik untuk ditinggali oleh kami 66 orang. Fasilitas cukup banyak: ada televisi dengan layanan tivi kabel, kamar mandi dengan pemanas air, ruang ibadah terpisah yang dapat dipakai perempuan untuk menginap, dan smoking room yaitu balkon di luar. Walaupun demikian masalah aroma yang menusuk tidak dapat ditanggulangi bau kaki yang tajam, kaos angkatan yang tidak pernah dicuci, serta gas alam yang muncul tiba-tiba ikut menyemarakkan basecamp tercinta. Tidak masalah, yang penting kami melaluinya bersama-sama.

Interaksi demi interaksi sudah kami lalui, malam demi malam sudah kami tempuh, bahkan suatu malam yang disebut “malam swasta” pun sudah. Senam terbang, jalan jongkok, dan merayap sudah kami lakukan. Kami mau jadi satu angkatan, mau tidak mau kami harus menikmati proses ini. Sekarang, kami bersiap dengan spek yang berbeda, yang lebih berat. Peralatan sudah siap, fisik sudah dipersiapkan, mental sudah siap. Kami tidak tahu kapan kaderisasi ini selesai, tapi kami mau memberikan yang terbaik sampai titik darah penghabisan.

Sabtu, 13 November 2010, pk 11:52 WIB

beruntung setelah saya menyelesaikan tugas magang divisi Yudhabumi HMT, kami sudah dilantik dan sudah pakai jaket merah. YEAH!

Saturday, June 19, 2010

Industri Belas Kasihan


    Saya buat ini pk 8.00 di jalan Pasteur (bandung) menuju Jakarta di bangku depan sebuah travel yang saya rasa harganya cukup mahal walaupun tiketnya dapat ditukar dengan sebuah eskrim. Di lampu merah, seorang Bapak tua berpeci terlihat sangat lemah, walaupun hari sudah pagi, mencoba memainkan seruling yang saya tidak dapat dengar. Hanya sebentar dia meniupkan nafasnya di tabung musik itu, mobil sedan berplat nomor B membuka jendela dan memberikan uang, tidak tanggung-tanggung bukan seribuan tapi Rp10.000! Setelah itu sang Bapak dengan sigap menerima dengan tulus dan dengan sangat bijak menengadahkan tangan dan berbicara sendiri-dia sedang berdoa.
    Cerita lain lagi, waktu itu saya sedang pulang dari kampus gajah (itb) di angkot akan pulang ke kosan Dago Teahouse. Hal yang lazim bila pengamen mencari penghasilan di jalan minta uang ke penumpang angkot. Kebetulan ini seorang bapak pemain seruling-lagi. Dia memainkan seruling cukup lama di angkot, mungkin dia mulai menyadari bahwa penumpang angkot bukanlah "market" yang baik: segmen menengah sampai menengah ke bawah. Tanpa panjang lebar dia berpindah ke mobil di sebelah, tidak sampai 30 detik uang seribu rupiah sudah di tangan. Hebat.
    Bila Anda penah nonton film slumdog millionaire, di sana ada contoh yang baik. Sekumpulan anak jalanan di India lelah setelah bekerja di tempat sampah. Ketika beristirahat, seorang lelaki berpenampilan rapi datang dengan sumringah sambil memberi minuman coca-cola. Senyuman yang Ia tawarkan dan minuman segar yang sedikit agak mahal bagi mereka membuat lelaki itu seperti malaikat. Dia membawa mereka pulang ke rumah penampungan. Sampai di rumah dia memperlakukan mereka seperti anak raja dan beberapa lama setelah itu mereka diperlakukan seperti anak binatang.
    Mereka dipekerjakan paksa sebagai pengamen jalanan dan harus menyetor uang ke lelaki itu-sebut saja bos. Yang paling menyedihkan adalah anak yang memiliki suara yang indah dibuat buta matanya. Untuk apa? Untuk meningkatkan pemasukkan si bos, tentunya. Dia akan berdiri di ujung jalan menengadahkan tangan sambil menyanyi, orang tentu akan lebih kasihan kepada orang buta kan?
    Saya tertarik berkecimpung di dunia bisnis, saya selalu berpikir dan belajar untuk melihat peluang yang tersembunyi. Fenomena "industri belas kasihan" sempat membuat saya tidak tenang. Bayangkan belas kasihan sudah menjadi nilai jual suatu produk. Nilai jual yang utama, tidak perlu adding-value apapun karena sudah cukup menguntungkan. Saat lebaran tahun lalu, apakah Anda tahu bahwa sebuah keluarga pengemis datang dari daerah ke Jakarta. Hebatnya, pada hari ketiga bekerja mereka bisa menginap di hotel. Anda bisa hitung sendiri perkiraan omzet yang mereka dapat, maaf maksud saya profit karena mereka tidak menggunakan modal. Wah benar-benar entrepreneur sejati.
    Bagaimana dengan pasar dari "Industri Belas kasihan"? Bagaimana kelanjutan industri ini? Menurut prediksi saya, industri ini tidak akan mati dan bahkan dapat meningkat terus ke depan. Hampir sama seperti industri sex yang memiliki pasar yang kekal, hanya saja industri ini lebiih prospektif; tidak melanggar norma atau agama, terbuka bagi siapa saja, modal awal nol, dan bangsa Indonesia adalah pasar yang baik hati karena didominasi umat beragama.
    Saya tertawa kecil membayangkan mereka menghitung di microsoft excel mengenai proyeksi keuntungan bila mereka belajar di bangku sekolah lalu kuliah lalu bekerja, langsung menjadi pekerja, membuka usaha kecil-kecilan, atau menjadi entrepreneur generasi baru: pengemis. Mereka mulai menimbang-nimbang dan melakukan analisis SWOT. Membawa mereka ke sebuah pertimbangan: modal yang dikeluarkan di pendidikan akan kembali dengan jangka waktu yang sangat lama, menjadi pekerja dengan pendidikan yang minim hanya akan mendapat penghasilan yang kecil, dan membuka usaha kecil-kecilan memiliki resiko. Keputusan sudah bulat: mereka akan pindah ke kota besar dan anak-anak tidak jadi dimasukkan ke sekolah.
    Apa solusinya? Apa yang harus kita perbuat? Apakah memberi sedekah itu salah? Tidak, semua agama tidak pernah melarang umatnya untuk memberi, saya yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan diajarkan untuk memberi kepada sesama, saya yakin Anda juga demikian. Saya hanya menyarankan kepada Anda untuk memberi pada pihak yang pantas menerima, bukan kepada yang pantas dikasihani. Saya tidak bermaksud menghakimi atau menghasut, saya hanya ingin mengangkat fenomena ini dari sudut pandang saya. Jadi, bagaimana kalo Anda ingin bersedekah ke pengemis? Terserah saja, yang saya tahu: "memberi lebih baik daripada menerima".

19 Jun. 10

Sandro Hanaehan Sirait